MENENEWS

Ketidakmerataan Distribusi Vaksin

Selasa, 15 Juni 2021

Di Amerika Serikat, lebih dari sepertiga populasinya telah mendapatkan dosis kedua vaksin COVID-19 dan orang dewasa dari segala usia dan profesi sudah boleh mendapatkan vaksin oleh pemerintah. Bandingkan kondisi tersebut dengan Indonesia, di mana vaksinasi bahkan belum mencapai 5% dari total populasi dan vaksin masih diprioritaskan untuk golongan tertentu saja. Banyak negara miskin mengalami kondisi yang lebih parah dari itu, misalkan saja India yang baru-baru ini dilanda “tsunami COVID” yang salah satu penyebabnya adalah kurangnya vaksinasi di negara tersebut. Lantas mengapa kesenjangan distribusi vaksin ini bisa terjadi?

Pada tahap-tahap awal pandemic ini, negara-negara kaya dan maju sudah terlebih dahulu membuat kesepakatan bilateral dengan pihak-pihak yang melakukan penelitian dan proses manufaktur terhadap vaksin-vaksin yang kita kenal saat ini: AstraZeneca, Pfizer, Moderna, dan masih banyak lagi. Dalam kesepakatan tersebut, negara-negara yang bersedia mengucurkan sejumlah dana untuk research and development dari setiap vaksin tersebut akan menjadi pihak pertama yang memperoleh vaksin itu setelah lolos uji klinis. Karena negara-negara maju memiliki sumber daya untuk mengeluarkan dana tersebut, maka merekalah yang pertama memperoleh vaksin dalam jumlah besar, sedangkan negara-negara miskin dan berkembang lainnya hanya mendapatkan prioritas akhir.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa investasi yang dikeluarkan oleh negara-negara maju bagaimanapun juga merupakan hal yang berisiko tinggi sehingga membutuhkan keberanian. Hal ini dikarenakan pada saat investasi itu dibayarkan kepada perusahaan-perusahaan manufaktur vaksin, negara-negara yang mendanai tidak dapat tahu pasti apakah vaksin yang didanai tersebut pada akhirnya akan dapat lolos uji klinis atau tidak. Jika ya, maka negara-negara yang berani menanggung risiko akan dihadiahi dengan prioritas pertama dalam distribusi vaksin, tetapi jika tidak, maka negara dapat kehilangan investasinya. Karena adanya ketidakpastian ini, maka banyak negara maju membuat kesepakatan dengan lebih dari satu manufaktur sehingga dosis yang dijanjikan kepada mereka dapat jauh melebihi populasi negara yang dapat divaksinasi. Inilah mengapa sejumlah negara mengalami surplus vaksin, sementara banyak negara lainnya justru tidak memiliki persediaan vaksin sama sekali.

Salah satu solusi yang dicanangkan untuk mengatasi permasalahan ketidakmerataan distribusi vaksin ini adalah suatu program yang diberi nama Covax, yang adalah sebuah inisiatif yang dipelopori oleh tiga asosiasi kesehatan termasuk WHO. Pada prinsipnya, Covax bermaksud untuk menjembatani negara-negara dengan pihak manufaktur vaksin, sehingga negara-negara tidak lagi dapat membuat kesepakatan yang bersifat bilateral. Melalui Covax, investasi dari setiap negara yang ada di dunia untuk penelitian dan pengembangan vaksin akan dihimpun dan kemudian hasil akhirnya yang berupa vaksin akan didistribusikan secara merata ke setiap negara. Dengan demikian, kesenjangan distribusi vaksin akan dapat dihindari.

Sumber:

Anna Rouw Follow, Adam Wexler Follow, Jennifer Kates Follow, and Josh Michaud Follow 2021, Global COVID-19 Vaccine Access: A Snapshot of Inequality, KFF, viewed 25 May 2021, https://www.kff.org/policy-watch/global-covid-19-vaccine-access-snapshot-of-inequality/.

ECOSOC 2021, Unequal Vaccine Distribution Self-Defeating, World Health Organization Chief Tells Economic and Social Council’s Special Ministerial Meeting, United Nations, viewed 25 May 2021, https://www.un.org/press/en/2021/ecosoc7039.doc.htm.